all the best for all of you guys...
Wednesday, August 12, 2015
Tuesday, August 11, 2015
IDENTIFIKASI, TINGKAT INSIDENSI, INDEKS DOMINASI, TINGKAT KESUKAAN PARASIT PADA SIDAT (Anguilla marmorata) YANG DIBUDIDAYAKAN DI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR TATELU. Di bimbing oleh : Dr.Ir. Reiny A. Tumbol, M.App.Sc dan Ir. Sammy Longdong, M.Si.
RINGKASAN
TAUVAN AFFERO KANOLI, NIM 0205145008. RENCANA
KERJA PENELITIAN. IDENTIFIKASI, TINGKAT INSIDENSI, INDEKS DOMINASI, TINGKAT
KESUKAAN PARASIT PADA SIDAT (Anguilla
marmorata) YANG DIBUDIDAYAKAN DI BALAI BUDIDAYA AIR TAWAR TATELU.
Di bimbing oleh : Dr.Ir. Reiny A. Tumbol, M.App.Sc dan
Ir. Sammy Longdong, M.Si.
Sektor Kelautan dan Perikanan dengan potensi
sumber daya alam yang sangat besar diharapkan dapat menjadi sektor unggulan
dalam pemulihan ekonomi. Sidat (Anguilla sp) merupakan salah satu komoditas
hasil perikanan yang prospek ekspornya sangat baik karena komoditas ini
mempunyai cukup banyak konsumen di luar negeri.
Kendala teknis mulai
dapat diatasi dengan semakin dikuasainya teknologi budidaya serta sistem
pengelolaan lingkungan yang mengarah pada pengelolaan berkesinambungan. Namun, seiring dengan berkembangnya
teknologi usaha budidaya yang mengarah ke sistem budidaya intensif, disatu sisi
dapat meningkatkan pendapatan dengan meningkatnya padat tebar, namun disisi
lain padat tebar yang tinggi yang dibarengi dengan penggunaan pakan buatan
dengan kadar peotein yang tinggi, masalah-masalah seperti penyakitpun
meningkat.
Penyakit ikan dapat
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan suatu
fungsi atau struktur dari organ tubuh baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penyakit ikan dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit (Pathogen) yang dapat berupa
parasit, bakteri, virus maupun jamur.
Parasit adalah suatu hubungan simbiosis antara dua
organisme yang berbeda dimana salah
satunya sebagai parasit yang bergantung pada inangnya yang seringkali pada
waktu yang lama. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat menyebabkan kematian,
menurunkan bobot, bentuk serta ketahanan tubuh ikan.
Parasit-parasit yang hidup di luar tubuh ikan seperti kulit/lendir,
sirip dan insang disebut ektoparasit. Adapula parasit yang hidup di dalam tubuh
ikan seperti di dalam organ usus, otot daging, otak. Golongan-golongan parasit
ini disebut endoparasit.
Sidat diambil dari lokasi budidaya Balai Budidaya Air
Tawar Tatelu. Jumlah sampel yang
akan diambil sebanyak 50 ekor dalam keadaan hidup, dengan kisaran panjang sekitar 30 cm. Setiap sampel Sidat yang akan diidentifikasi diletakkan pada
papan bedah kemudian diukur panjang total ikan dengan menggunakan mistar,
dilakukan penimbangan dan pengamatan dengan Lup untuk pemeriksaan ektoparasit.
Selanjutnya tubuh ikan dibedah, organ-organ tubuh seperti usus, lambung, hati
dan daging dikeluarkan untuk diperiksa keberadaan parasitnya. Pemeriksaan
parasit menggunakan lup dan mikroskop.
Analisis
data dilakukan dengan mengidentifikasi jenis-jenis parasit yang ditemukan,
selanjutnya menghitung nilai dari tingkat insidensi, indeks dominasi, dan
tingkat kesukaan parasit dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
§ 

Dimana : n = Jumlah
Sidat yang terinfeksi parasit
N = Jumlah
sampel yang diamati
n
§ Indeks Dominasi = ∑ (ni/N)2
(i=1)
Dimana : ni = Jumlah
individu tiap spesies parasit
N = Jumlah total
seluruh individu parasit
(O – E)2
§
Tingkat Kesukaan Parasit = Х2

E
Dimana : O = Frekuensi
pengamatan
E = Frekuensi
harapan
Terbentuknya Hubungan Kerajaan Buol dan Gorontalo
77
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Terbentuknya Kerajaan Buol Dengan Gorontalo Awal Abad XIX
Sebelum abad ke XIX pemerintahan kerajaan buol berkedudukan di atinggola dan biau/sumalata, oleh karena pada zaman itu wilayah kerajaan buol sangat luas meliputi daerah-daerah itu sampai dibatas buroko/ kaidipan. Bertepatan Pombang Lripu beada digorontalo setelah mengawini putri Djamalia pada waktu itu raja Limboto memintah kepada raja Gorontalo sebidang tanah dipantai Gorontalo untuk rakyat limboto untuk membuat garam. kebetulan saudara kita raja Buol beada disini, mintalah kepadanya karena wilaya pantai kerajaan Buol sangat luas (dibagian utara ) , sedangkan wilayah Gorontalo (pantai selatan) sangat sempit.
Oleh karena terikat tali kekeluargaan dengan Gorontalo /limboto, maka dengan sepontan Raja Pombang Lripu memberikan tanah (pantai ) kepada raja limboto yaitu dari tanjung dulang dekat buroko sampai di satu tempat yang disebut Kuwanun (Kwandang) tempat tersebut didiami oleh orang –orang pembuat garam dari Limboto. Tetapi lama kelamaan terjadilah perpindahan rakyat kerajaan limboto secara besar-besaran , karena kemungkinan prospek kehidupan disini lebih baik.
Setelah berlalu menempati waktu lamanya, rakyat Limboto sudah sangat banyak menempati daerah tersebut, maka raja Llimboto memintah lagi kepada raja Buol supaya daerah antara Kwandang sampai pada sungai kecil dekat Mooti
78
diberikan lagi kepada raja Limboto. Sungai tersebut kemudian diberi nama sungai Buol, sebab disitulah nantinya batas dari tetap dari kerajaan Buol.
Sebagai imbalanya, raja Limboto akang memberikan hadia sebuah kursi emas kepada raja Buol . raja Buol menyetujui usul raja limboto itu.
Menurut Nasrudin Mangge ikatan emosional Buol dengan Gorontalo sampai kapanpun tidak pernah dipisahkan karena Buol dengan Gorontalo satu keluarga atau budaya kultur Buol dengan Gorontalo sama.dilihat dari segi adat istiadat. Misalnya bahasa Buol banyak memiliki kemiripan-kemeripan. (wawancara 27 – maret- 2013).
Menurut Marya G Mailili bahwa Buol dengan Gorontalo Melalui jalur persahabatan antara Raja-raja dan hubungan kekerabatan melalui perkawinan antara putra mahkota raja Buol bernama” Prins pombang yakut kuntu amas’ kawin dengan Putri raja Gorontalo yang bernama “Djamalia “ secara otomatis Buol dengan Gorontalo sudah menjadi satu keluarga. (wawancara 28 - Maret – 2013 ).
Menurut Supu Tahura mulai dari penghujung abad XVIII dan memasuki abad Ke XIX , buol sudah dikenal dibagian lain dari nusantara, mulai dari jalur hubungan persahabatan antara raja-raja, dan hubungan kekeluargaan atau perkawinan.
79
Jadi perbaurana antar sosial kultur banyak memiliki kesamaan. Selain dari pada itu hubungan dibidang perdagangan sudah mulai pesat (wawancara 06 – April- 2013 ).
4.1.1 Sistem Pemerintahan Kerajaan Pada abad XIX (1810 – 1947 )
Beberapa Raja yang memerintah dalam periode tersebut adalah sebagai berikut : Mokoapat memerintah (± 1810 -1818)
Pengganti Mokoapat dipilih Pulingala putra raja Kauli saudara dari timumun, namun ia menolak karena ia merasa tidak sanggup. Kemudian terpilih anaknya Baeduding. Kemudian Datu yang calon raja itu terjatuh kelaut dan tewas sehingga tidak diangkat sebagai raja.
Kemudian Baeduding atas permintaan anak angkatnya Ndubu Amas, mengusulkan agar Ndubu amas saja yang diangkat menjadi raja. Ndubu amas adalah putranya raja mokoapat yang dipelihara oleh Baeduding . antara baeduding dengan ndubu amas ada perjanjian yang disertai “sumpah” bahwa keturunannya tidak menyianyiakan atau memperbodohi keturunan dari baeduding /Raja kalui. Kalau itu terjadi maka keturunan Ndubu amas akan mendapat sakit ingatan (gila ). Setelah diangkat menjadi raja, Ndubu amas mengawini putri raja kalui bernama Buki Nike. Ndubu Amas Memerintah (± 1818 - 1882)
80
Dalam pemerintahannya kira-kira sekitar tahun 1819 portugis dapat mempengaruhinya untuk mendidrikan benteng pertahanan dekat muara sungai Buol dengan alasan untuk memajukan perdagangan didaerah Buol. Benteng tersebut menghadap kekampung Bugis desebrangnya, yaitu pusat perdagangan kerajaan Buol pada waktu itu, maka mulai pada saat itu perdagangan dikerajaan ini sepenuhnya dapat dikendalikan dan diawasi oleh, yang membikin pihak belanda tidak senang.
Untuk lebih mempererat hubungan kekeluargaan dengan kerajaan Limboto /Gorontalo, raja Ndubu Amas diperjodohkan putranya Datu Mula dengan putri raja limboto. Tetapi sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua sijoli berbuat sesuatu yang melanggar adat. Majelis adat Limboto/ Gorontalo menjatuhkan sanksi yang harus dipenuhi oleh raja Ndubu amas. Maka untuk membayar “denda “tersebut raja Buol menyerahkan sebagian daerahnya disebelah timur, yaitu dari sungai Buol dekat Mooti sampai pada batas sebelah timur sumalata.
Menurut Maryam G. Mailili Dengan adanya beberapa peristiwa maka sifat/ perbatasan buol berakhir ditetapkan dihuludobongo (Umu). Masuk pada abad ke XIX melalui jalur persahabatan antara raja-raja dan hubungan kekerabatan melalui jalur perkawinan antara putra mahkota raja buol kawin dengan putri gorontalo,maka buol dan gorontalo mempunyai hubungan yang erat. (wawancara, tanggal 28 Maret 2013).
81
Maka wilayah kerajaan Buol pada waktu itu masih meliputi daerah sumalata. Raja Ndubu amas ia meninggal tahun 1828 digantikan oleh saudaranya Takuloe Mmerintah ( ±1828 -1830 ).
1. Datu Mula Memerintah (± 1830 -1843 )
Dalam pemerintahannya, setelah berjalan sekitar 9 tahun terjadilah “perang sumalata “ antara kerajaan Limboto/Gorontalo dengan kerajaan BuoL. Penyebabnya adalah dalam pencarian (pendulangan) emas disumalata, rakyat Buol mendapat gangguan dari rakyat Limboto /Gorontalo, lalu timbul kejadian bahwa setiap malam rumah-rumah orang Buol dihujani batu oleh orang-orang Gorontalo.
Setelah tak tertahankan lagi maka terjadilah perang antara Buol dengan Gorontalo. Korban dari kedua belah pihak demikian besarnya, konon darah mengalir dapat menghanyutkan lesung. Oleh peristiwa itu datang penyelidikan oleh pemerintah belanda. Dan hasil penyelidikan, raja Datu mula dipersalahka. Dan jatuh fonis dari pemerintah penjajah itu. Datu mula diasingkan kepulau jawa (Bandung).
Pihak Gorontalo mintah kepada Belanda, supaya kerugian jiwa dipihak mereka diganti dengan jiwa pula oleh pihak Buol, lalu pihak Gorontalo memindahkan sifat perbatasan Buol dari timur sumalata ke Huludo Bongo, hal tersebut belanda setuju, tetapi pihak buol sangat tidak menyetujui, namun tidak digubris oleh belanda, sedang datu mula sudah dibawah berlayar kejawa (Bandung). Disana belanda
82
membujuk Datu mula supaya menerima saja keputusan pemerintah. Kemudian ia digantikan oleh Elamo memerintah pada tahun (± 1843 -1857 ).
2. Lahadung memerintah (+1858 – 1864 )
Pengangkatanya sebagai seorang raja diiringi dengan harus menandatangani kontrak panjang atau Lange Verklaring yang menyatakan hubungannya dengan pemerintah hindia belanda, meliputi hak dan kekuasaan swapraja, dan sampai dimana kekuasaan hindia belanda dalam daerah Swapraja:
1. Bahwa susunan pemerintah intern Landschap pada umunya berdasarkan adat istiadat tradisional
2. Bahwa kekuasaan pemerintah hindia belanda dalam daerah Landschap hanya berlaku penuh bagi warga negara belanda (Gubernurmen) dan bagi warga Landschap hanya sekedar sesuai dengan kekuasaan otonom yang diberikan kepada Landschap itu.
3. Kekuasaan otonom Landschap itu meliputi hak mengatur, mengurus (termasuk polisi)dan mengadili persengketa hukum disemua lapangan, dan tidak nyata dikecualikan dari kekuasaan itu.
Raja Lahadung yang sudah ada ikatan dengan belanda harus menandatangani perjanjian perbatasan dengan Gorontalo di Huludo bongo yang sangat merugikan buol. “perang sumalata” dimulai oleh Gorontalo tetapi belanda mempersalahkan raja Datu Mula sebagai yang menimbulkan perang.
83
Raja Datu mula sangat menentang keputusan tersebut dan belanda dan belanda tidak berhasil membujuknya. Perjanjian perbatasan dengan Gorontalo itu ditanda tangani tahun 1860 oleh raja Lahadung Datumula Soradjuddin dari Buol, dan raja Zainal Abidin Monoarfa dari Gorontalo disaksikan oleh raja-raja kaidipan, Bolaang itang, Bolaang Mongondouw. Raja Lahadung sudah menandatangani Lange Verklaring. Mulai saat itu sebagian wilayah Buol dari tanjung huludobongo sampai tanjung dulang, masuk wilayah Gorontalo.
3.Patra Turungku memerintah (1890 - 1899)
Dimasa pemerintahannya belanda menempatkan Controleur pertama di Buol pada tahun 1896. Raja Patra turungku menadatangani “ Lange Verklaring” pada tanggal 13 desember 1890. Pada mulanya Controleur Dr. H. Seiber itu datang berkedudukan dibuol. Rakyat buol makin tidak senang , kehadiran pembesar belanda itu jelas untuk menjalankan penjajahan mereka. Setiap setiap malam rumah yang ditempati Controleur itu dilempar batu. Akhirnya Controleur itu pindah kepaleleh.
Karena hubungan Buol dengan Gorontalo makin tegang karena masaalah pembatasan, maka raja patra turungku berusaha meredahkan ketegangan itu supaya tidak terjadi lagi bentrokan. Beliau mengadakan pertemuan diperbatasan dengan jogugu kuandang bernama Hulupango Putih. Keduanya saling berbalas syair yang bermaknanya adalah Buol-Gorontalo dan Gorontalo –Buol adalah bersaudara. Kemudian mereka saling bertukar keris sebagai tanda mata. Dengan Resident manado
84
juga raja Patra Turungku memberikan cinderamata (emas. Belanda menyebutnya raja emas. (Dalam bukunya Abdul Rahim Samad 64 -70)
4. Datu Alam Turungku (Raja ke-29), dengan gelar “Ti Pasumen” memerintah (1899 – 1914 M) berkedudukan di Kasanangan.
Pada masa pemerintahan Datu Alam Turungku, Belanda menjankan wajib kerja Rodi (Heerendienst) yaitu pada tahun 1903. Dengan demikian sudah dua macam kewajiban yang berat dibebankan kepada rakyat, yaitu pajak dan kerja rodi, yang menyebabkan kehidupan rakyat bertambah susah. Di pihak lain, belum ada usaha-usaha Belanda untuk memajukan rakyat, semua usaha Belanda adalah hanya untuk kepentingan semata. Namun demikian, Pemerintah Hindia Belanda memberikan hadia kepada Raja Datu Alam Turungku yaitu berupa “Pasment”. Pasment ialah hiasan yang dilapisi emas dan dililitkan pada songkok Raja, maka dari itu Beliau di beri Gelar “ Ti Pasument “.
Pada tahun 1911 Beliau jatuh gering dan menjadi gila, tetapi sembuh kembali. Pada tanggal 20 November 1912, Assistent Resident Gorontalo menulis surat kepada Resident Manado yang mengusulkan perubahan dalam pemerintahan Buol. Pada tanggal 22 November 1912 Raja Datu Alam Turungku menandatangani Korte Verklaring.
Usul itu telah disetujui oleh Resident Manado dalam surat keputusannya pada tanggal 1 April 1914, yaitu mengenai surat yang berlaku sejak mulai dari tanggal 1
85
Januari 1913, isi surat keputusan tersebut telah merubah system pemerintahan menurut adat istiadat Buol yaitu :
a. Badan musyawarah Bokidu sebagai lembaga legislatif dihapuskan
b. Jabatan-jabatan Presiden/ Madika (Raja), Jogugu (wakil raja), Wukum (bidang hukum), Kapitalyau (kapten laut), dan lain-lain jabatan di bawahnya dihapuskan
c. Distrik-distrik disederhanakan, dari lima distrik menjadi tiga distrik, yaitu distrik Momunu masuk wilayah distrik Biau dan distrik Paleleh masuk wilayah distrik Bunobogu.
Maka dengan adanya perubahan tersebut, di pusat pemerintahan hanya ada Madika (Raja), dan di tingkat distrik hanya ada Marsaoleh yang masing-masing dibantu oleh Jurutulri (sekertaris).
Namun di tingkat kampung tetap, yaitu Kepala Kampung, Jurutulri (sekertaris) dan Mayor. Setelah status Afdeling Buol yang sudah berlaku dari tahun 1858 berubah menjadi Onder Afdeling dalam lingkungan Afdeling Gorontalo yaitu dari tahun 1919 sampai dengan tahun 1926, kemudian pada tahun 1926 sampai dengan tahun 1933 wilayah Buol masuk dalam Afdeling Donggala.
Melihat jarak antara wilayah Buol dengan Donggala sangat jauh dan susah transportasi untuk pelayanan masyarakat, mulai dari tahun 1933 wilayah Buol masuk kembali dalam Afdeling Gorontalo sampai pada masa pendudukan Jepang, karena
86
dengan alasan jarak antara wilayah Buol dengan Gorontalo sangat dekat dibandingkan dengan Donggala.
Mengetahui Raja Datu Alam Turungku (Raja Buol) dalam keadaan tidak waras, maka Raja Bolang Itang yang bernama Ram Suit Pontoh (Keturunan Bangsawan Buol), memajukan keras/permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi Raja Buol dan permohonannya diterima. Raja Bolaang Itang berencana setelah menjadi Raja, Beliau akan membangun Ibu Kota kerajaan yang berlokasi diantara Desa Lokodidi dan Desa Lokodoka yaitu di Tabamuang/Desa Matinan. Usaha Ram Suit Pontoh tersebut ditantang keras oleh H. Ahmad Turungku yang waktu itu sebagai Marsaoleh Biau.
H. Ahmad Turungku berpendirian bahwa sebagai Putra dari Datu Alam Turungku (Raja Buol), Beliau berhak menjadi Raja Buol. Mendapat reaksi tersebut Belanda membatalkan persetuannya dengan Ram Suit Pontoh, dan mengembalikannya ke Bolaang Itang. Pada tahun 1914, H. Ahmad Turungku menggantikan Datu Alam Turungku sebagai Raja Buol.
5. H. Ahmad Turungku (Raja ke-30), memerintah (1914 – 1947 M) berkedudukan di Roji atau Bendar kemudian di Leok.
Raja H. Ahmad Turungku diangkat pada tahun 1914, dan dinobatkan secara adat yang dalam bahasa Buol “Ni Tongouk” yaitu pada tahun 1916. Beliau adalah seorang Raja yang keras kemauan, disiplin dan menjamin keamanan rakyar serta kerajaan dari semua gangguan.
87
Beliau menandatangani Korte Verkling pada tanggal 20 November 1915, pemerintahannya mendapat penilaian yang baik dari Belanda dan mendapat penghargaan yaitu :
a. Pada tahun 1929 mendapat hadiah “Kepala Tongkat Emas”
b. Pada tanggal 17 Februari diberikan penghargaan “Bintang Emas Besar”
c. Pada tanggal 10 Agustus 1941 diberikan penghargaan “Bintang Emas Kecil”
Beliau diberikan penghargaan tersebut oleh Belanda setelah menjalani dinas Raja selama 25 tahun. Raja H. Ahmad Turungku membangun Istana yang cukup megah di Roji yang disebut “Kumalrigu Sirap” atau Istana Atap Sirap.
Nama Roji mulai berlaku tahun 1830 yang diberi nama oleh Pertugis, kemudian direbut oleh Belanda, dan masih tetap digunakan sebagai nama Ibu Kota Kerajaan Buol sampai tahun 1930. Setelah itu, Roji berubah menjadi nama “Bendar” yang berarti Kota.
Pada masa pemerintahan H. Ahmad Turungku, Kota Leok dibangun dan dijadikan pusat pemerintahan atas usul Controleur Rookmake dan Waiswisz yaitu pada tahun 1930.
Sekitar tahun 1940 nama Bendar sudah jarang dipakai, masyarakat sudah menyebutnya Buol, karena nama Buol adalah meliputi seluruh wilayah Kerajaan Buol. Dengan demikian, Istana Raja Kumalrigu Sirap (Istanah atap sirap) yang baru dibangun tahun 1924 dipindahkan ke Leok.
88
Beberapa Istana yang cukup megah yang dibangun oleh Raja-raja dari Dynasti Mokoapat adalah :
a. Kumalrigu Kasanangano “Istana Kesenangan” dibangun di atas bukit antara Desa Kali dan Desa Kulango sekarang.
b. Kumalrigu Mopanggato “Istana Tinggi” terletak di Roji yang kemudian berubah menjadi nama Bendar
c. Kumalrigu Seng “Istana Atap Seng” terletak di Bendar
d. Kumalrigu Sirap “ Istana Atap Sirap” terletak di Leok
e. Kumalrigu Palreleh “Istana Paleleh” terletak di Paleleh.
Istana-istana yang sebelumnya telah dibangun oleh Raja-raja tersebut sebagai salah satu bukti peninggalan sejarah telah rusak dan pada akhirnya ambruk/hancur dan menyatu dengan tanah, yang tersisa sekarang tinggal puing-puing dari bangunan Istana tersebut. Bangunan Istanah tersebut telah hancur karena lapuk dan kurangnya perhatian dari masyarakat untuk merawat Istana tersebut. Namun, masih ada tersisah satu bangunan Istana yaitu berada di Leok.
Raja H. Ahmad Turungku memerintah sampai zaman Jepang dengan jabatan sebagai Suco, dan zaman NICA dengan jabatan sebagai HPB (Hoofd Van Plastsckijke Bestuvr) dan mengakhiri tugasnya/pensiun pada bulan Mei tahun 1947.
H. Ahmad Turungku kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Muhammad Aminullah Turungku, Beliau adalah salah seorang Raja Buol yang lama memerintah yaitu ± 33 tahun. (dalam A. Rahim Samad, 2000 : 1- 4)
89
4.2 Kedaan Sosial Kultur Buol sebelum ada Hubungan dengan Gorontalo
Sosial adalah upaya ditengah kehidupan masyarakat sebagian kelompok masyarakat (siciety) ataupun komunikasi (comunity). Sedangkan kultur diartikan dari kata budaya.
Ilmu sosial dasar adalah pengetahuan yang mempelajari tentang masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yang terjadi pada masyarakat Indonesia, dengan menggunakan Teori-teori ( fakta, konsep, teori ) yang berasal dari berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-lapangan sosial, seperti Geografi Sosial, Sosiologi, Antropologi Sosial, Ilmu Politik, Ekonomi, Psikologi Sosial dan Sejarah.
Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu sosial dasar adalah pengetahuan yang mempelajari tentang cara manusia berkomunikasi/berhubungan dengan satu sama lain. Sebagai mahkluk sosial, berkomunikasi/berhubungan antar sesama haruslah terjalin dengan harmonis agar tercipta manusia yang peduli
Kebudayaan adalah suatu fenomena universal. Setiap masyarakat-bangsa didunia memiliki kebudayaan, meskipun bentuk dan coraknya berbeda-beda dari masyarakat-bangsa yang satu ke masyarakat-bangsa yang lainnya. Kebudayaan secara jelas menampakan kesamaan kodrat manusia dari pelbagai suku, bangsa, dan ras.
Orang bisa mendefinisikan manusia dengan cara masing- masing, namun manusia sebagai cultural being, mahluk budaya merupakan suatu fakta historis yang tak terbantakan oleh siapanpun juga. Sebagai cultural being, manusia adalah pencipta
90
kebudayaan. Dan sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah ekspresi eksistensi manusia di dunia. Pada kebudayaan, manusia menampakkan jejak-jejaknya dalam panggung sejarah.
Pengertian kebudayaan secara luas yakni apa saja yang dipikirkan dan dilakukan oleh manusia termasuk segala peralatan yang digunakannya, maka teknologi adalah anak kandung kebudayaan, disamping perangkat budaya yang lain, seperti ilmu, seperti ilmu, seni, filsafat, sistem nilai, nilai keterampilan, pertukaran, perdagangan. Kebudayaan sifatnya abstrak , tak dapat di raba atau di foto. Lokasinya ada di kepala-kepala masayarakat, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiraan dari warga masayarakat dimana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatau masyarakat. Di samping itu kebudayaan adalah suatu sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi masyarakat tersebut. (Paul B. Horton dkk, 1999 : 58).
Kehidupan Sosial kultur/ Budaya masyarakat Buol sangat premitif, sederhana, dan sangat bersifat kekeluargaan. Budaya-budaya dalam masyarakat sangat di jaga dan dijunjung tinggi oleh masyarakat. Adat istiadat yang ada pada masyarakat selalu dipertahankan dan dilaksanankan oleh masyarakat. Karena belum ada sentuhan dan pengaruh dari budaya-budaya asing/barat. Belanda melalui aparat pemerintahannya di daerah memerintahkan kepada raja-rajanya supaya mengarahkan rakyatnya memenuhi perintah dalam pemungutan pajak, kerja rodi dan sebagainya. Dari segi
91
kewajban rakyat dituntut untuk memenuhinya, tapi pada segi hak, rakyat dibatasi karena Belanda takut kalau rakyat berpendidikan kelak nanti akan membahayakan kedudukannya.
Karena itu rakyat harus tetap bodoh dan ketaatan kepada Raja harus tetap dipupuk dan ditanamkan baik-baik agar bisa mencapai tujuannya untuk mengeksploitasi rakyat bagi kepentingan penjajah melalui Rajanya masing-masing.
Dengan datangnya pengaruh partai potik dan organisasi pergerakan lainnya, maka tokoh-tokoh pergerakan mulai menyadari rakyat akan harga dirinya dan ditimbulkan kesadarannya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan tanah air. Kebencian pada penjajah menjadi salah satu penyebab banyak rakyat Buol meninggalkan daerahnya pergi merantau. Terbukanya jaringan jalan raya antara satu kota dengan kota lainnya, menyebabkan mobilitas dalam bidang ekonomi menjadi lebih mudah, pergaulan antara orang dari kampung yang satu dengan kampung lainnya menjadi baik. Seiring dengan adanya jalan tersebut dan suatu perkawinan menimbulkan rasa persaudaraan yang erat dan sering mengadakan suatu perjanjian kerja sama dalam hal-hal tertentu, yang sebelumnya orang pergi dari satu tempat ke tempat yang lain berjalan kaki dengan memilkul barang-barang, maka seiring berjalannya waktu mereka sudah menggunakan kuda sebagai alat pengangkut dan kemudian berganti dengan gerobak yang ditarik oleh kerbau atau sapi.
Perdagangan yang tadinya tukar menukar barang, berubah menggunakan mata uang sebagai alat tukar/mengukur nilai suatu benda. Mata uang yang digunakan
92
sebelumnya adalah mata uang yang dibuat dari logam dengan berbagai macam tinggi nilai tukarnya. Kemudian berganti uang logam yang di dalamnya tergambar ayam, dalam baha Buol doi manuk, lalu berganti dengan uang logam baru yang dicetak oleh pemerintah Hindia Belanda di awal abad XIX.
Persekutuan hukum yang mengatur hidup bermsayarakat selama berabad-abad yang dikenal sebagai Kerajaan Buol, mempunyai corak budaya dan adat istiadat sendiri sebagai ciri khas dari suatu suku bangsa dan bagian dari budaya Indonesia.
Beberapa diantaranya masih nampak dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat di Daerah Buol, atau masyarakat Buol yang berada di daerah lain dan merasa masih terikat dengan budaya sebagai peninggalan leluhurnya. Berikut ini salah satu Adat Buol adalah :
1. Adat Perkawinan.
Salah satu Adat yang dimiliki oleh masyarakat Buol adalah Adat Perkawinan yang terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :
1. Mongoyokap (mencari kepastian apakah ada respon yang baik dari keluarga, dan gadis tersebut belum mempunyai seorang calon atau tunangan).
2. Modolyo Sunangano (membawa gadis dan kedua keluarga mereka untuk berjalan-jalan atau pergi makan, kemudian keluarga mereka melihat serta
93
memastikan apakan kedua remaja tersebut saling jatuh cinta satu sama lain).
3. Molyako Nikah (pelamaran yang dilakukan oleh pihak atau keluarga laki-laki/pria kepada keluarga wanita/perempuan).
4. Mongundudo Undudo (mengantar harta perkawinan yang sudah disepakati terlebih dahulu, seperti kue, beras, buah-buahan, seperangkat pakaian wanita, tempat sirih pinang dan lain-lain sebagainya)
5. Mongundudo Totombu (mengantar harta seperti totombu atau mohar, yang berupa emas atau surat-suratan, pohon kelapa maupun uang).
6. Mongolyondigi atau mapaci (memberikan semacam ramuan obat tradisional yang ditaruh di tangan atau kuku kepada kedua calon pengantin, dengan harapan semogah keduanya sehat dan rukun dalam memasuki gerbang perkawinan
7. Nikah Batin (pembacaan khotbah nikah oleh penghulu dan ijab Kabul sebagi serah terima dari wali kepada pengantin pria atau akad nikah. Kemudian dilanjutkan dengan batal wudhu, yaitu pengantin pria menyentuh bagian wajah/muka pengantin wanita yang dalam bahasa Buol monowbu unggago).
8. Nikah Hadat (selesai akad nika dan batal wudhu, kedua pengantin dibimbing keluar dari kamar adat menuju pelaminan dan duduk bersanding yang dalam bahasa Buol di sebut poyagano atau ditonton dan disaksikan oleh masyarakat/hadirin para undangan. Kemudian kedua
94
pengantin tersebut sungkem/memohon doa restu kepada keempat orang tua mereka serta kakek dan nenek. Pada kesempatan itu diberikan hidangkan makanan atau kue kepada tamu dan hadirin).
9. Mopoalyumo (Kedua mempelai diarahkan ke rumah orang tua mempelai pria sebagain tanda bahwa pengantin wanita sudah menjadi anggota keluarga/menantu dari orang tua pengantin pria. Kemudian rombongan tersebut kembali lagi ke rumah pengantin wanita).
1. Biatono (dihadapan kedua keluarga mempelai dan mengiringi doa keselamatan, kedua mempelai diberikan nasihat pernikahan oleh pejabat agama atau orang tua terkemuka tentang bagaimana seharusnya berumah tangga menurut tuntunan agama isalam).
2. Mogolya Mongaano (keluarga pengantin pria mengundang keluarga pengantin wanita untuk makan bersama sebagai tanda makin eratnya hubungan kekeluargaan mereka. Kemudian kedua mempelai kembali lagi ke rumah mempelai wanita).
3. Mogolya Mopolyongo (kedua mempelai dijemput untuk bermalam di rumah pengantin pria selama sehari atau dua hari. Pada kesempatan itu mereka merundingan dimana mereka akan tinggal menetap, apakah di rumah orang tua wanita atau di rumah orang tua pria ataukah sudah akan hidup berdiri sendiri). (dalam A. Rahim Samad, 2000 : 18-23).
2. Adat Bayi Pertama Kali Naik Buian
95
Adat ini disebut MONUNI. Seorang bayi sebelum naik buian untuk pertama kali , sebelumnya dibuatkan dulu acara adat. Mula-mula disiapkan dulu Donden yaitu semacam sajian dilengkapi dengan tunas kelapa, dua jenis bambu kuning (Bulyatu Bwulyaan dan Tomulyang Bwulyaan) dan sejenis kayu disebut Bindonu.
Ketiga tumbuhan tersebut musti ada bersama Bindonu, konon adalah tumbuhan pertama digunung pogogul waktu kejadian manusia pertama diBuol. Dari bambu kuning itudibuat satu ruas untuk tempat air sebanyak tujuh buah, dan gayung dari daun Nibong yang disebut Tetembu, juga banyaknya tujuh buah. Kegiatan selanjutnya adalah menggambil air dengan alat tersebut pada tujuh buah rumah dari orang terkemuka dikampung tersebut sebagai air mandi sibayi , yang maksudnya bahwa mulai sat itu sibayi dsuadah menjadi warga dari pada masyarakata dan menghadap doa restu untuk keshatan dan kesejatraan. Yang melaksanakan adalah bayi , nenek, mama dan keluarga dekat.
Adapun Buian khas Buol terbuat dari kayu yang halus buatnya dengan perlengkapan yang khas pula. Bayi dibaringkan dalam buian pada dada dan tangannya ditaruh semacam bantal penahan dan diikat seperlunya, yang dimaksud agar sibayi tetap tenang dan tidak mudah kaget. Pada dahi sibayi diletakkan semacam alat untuk membuat dahinya rata dan bagus yang disebut : Totadilo . dalam buian itu sibayi dapat buang air dengan bebas dengan karena sudah ada lubang dan dibawahnya sudah disiapkan alat penampungnya dari daun Nibong yang disebut Tumoyiko . untuk dapatnya diayun , dibuatlah alatnya yang disebut Gugondango .
96
Buian Khas Buol ini yang namanya Tuni, oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu disuruh buatkan dupliknya ukuran dalam Museum “Gedung Gaja” dijakarta.
3. Adat Dalam Pertanian
Ada beberapa tradisi adat dalam pertanian yang dikenal dalam masyrakat Buol. Tiap kelompok petani mempunyai seorang dukun yang disebut Panggoba . tugas panggoba adalah menentukan hari dan bulan yang baik untuk bertanam. Dia mendasarkan perhitunganya pada jalanya bintang yang disebut Yakuan . diamaping itu juga berkewajiban menolak bahaya berupa hama atau gangguan hewan-hewan . tiapa memulai setiap pekerjaan harus didahului oleh pangoba, seperti mulai membuka hutan, menanam dan menuai padi dan menghitung hasil panen atau Moraga.
Dalam pengelolaan pertanian ini dikenal cara bergotong-royong yang diBuol disebut Notaalyo. Mereka yang datang bekerja membantu dandijamin makan-minum dan rokok. Selain dari pada itu ada pula kebiasaan yang disebut Mopodobwu, yang artinya menumpang tanam. Bila kebun sudah siap panen , biasanya ada orang tertentu diberikan atau dipinjamkan sedikit tanah untuk ditanaminya sendiri.
Yang diberikan itu adalah dari keluarga yang tidak mampu tenaganya (seperti seorang sudah tua, atau ibu yang tidak ada suaminya lagi).
Ini sifatnya sosial apabila ada yang Mopodobwu itu seorang pejabat atau pemuka agama , maka bagi petani dianggap sebagai suatu kehormatan dan mengharapkan
97
berkah dari padanya . tetapi dari segi ekonomi jelas merugikan karena berkurang hasil panennya.
4. Adat Kematian
Untuk penghormatan terakhir pada orang orang yang meninggal maka diadakanlah acra adat pemakamanya. Dalam acara berlangsung ini semua pejabat dan petugas adat serta orang tua yang hadir diberi sepotong kain putih untuk ikat kepala. Semua perlengkapan adat juga dibungkus dengan kain putuh termasuk tiang-tiang dan tangga rumah.
Tidak ketinggalan tangga adat Tukadu Diapalya. Bendera adat Embero dikibarkan terus siang malam. Kulintang dibunyikan dengan irama khusus yang disebut Ndeng-ndeng. Setiap melakukan kegiatan mengurus mayat oleh pejabat hukum syar’i dibunyikan kulintang dengan irama Ndeng-ndeng beralun lemah , sayub-sayub menyediakan yaitu pada waktu jenaza dibawah ketempat permandian , pada waktu mulai dimandikan, pada waktu selesai dimandikan , pada waktu kembali kedalam rumah, pada waktu mulai dikapankan , pada waktu selesai dikapankan , pada waktu mulai disembayangkan , pada waktu selesai disembayangka , dan pada waktu mulai diangkat untuk dibawah kepemakaman.
Bila raja yang mengankat, maka diabuatkan kereta jenaza yang disebut Talyanggkeda.ada kebiasaan pula para pengantar kerata jenazah itu saling tarik menarik atau tolak menolak kereta itu yang disebut Mobwutukano.
98
Pada hari yang ditetapkan (biasa hari ke-40 atau ke-100) diadakan acara Kenduri Adat yang disebut Mengupas. Dalam upacara adat Buol selain upacara penobatan raja (Monongouko) , ada dua upacara adat yang besar , yaitu waktu perkawinan dan waktu kematian
Pada waktu acara adat besar seperti itu yang dihadiri raja dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya serta para pejabat tinggi hukum Syar’i , maka ruangan dan tempat duduk diatur dan dihiasi sedemikian rupa beralaskan permandi dan lain-lain.
Adapun urutan tempat duduk adalah sebagai berikut :
- Raja berhadapan dengan : Mofuti (Mufti)
- Jogugu berhadapn dengan : Kaalri (kadri )
- Kapitalau berhadap dengan : Hakimo
- Ukumo berhadapan dengan : Naabi
- Ulreano Lripu berhadapan dengan : Imam
- Anakopunu berhadapan dengan : Atibi
- Maiyordoka berhadap dengan : Seehe
- Pahalyaano berhadapan dengan : Sara’a
Baru sesudah itu duduk para kepala kampung dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya . dalam kenduri besar ini dihadangkan untuk raja dan beberapa pembesar lainnya diletakkan diatas dulang tinggi dari tembaga. Selesai Tahilan simati, biasanya kesempatan itu dipakai untuk tugas-tugas pemerintahan.
Pada zamn dahulu dimana perangkat adat masih lengkap dan lembaga bokidu belum dibubarkan oleh belanda, maka pada kesempatan seperti itu biasanya diadakan musyawara (Mobokidu), mengenai pengangkatan dan pemberhentian pejabat-pejabat kerajaan.
99
Setelesai semua acara , sebagai penutup acara Mengupas , ditutup dengan mandi berkabung, yaitu semua yang turun dari rumah dari rumah dan saling siram menyiram dengan air tidak ada terkecuali , disebut Monimukalyo
5. Penobatan Raja (Monongouko)
Bilamana raja mengankat (segeralah diadak adat kematian seperti diuraika diatas), maka jabatan raja lowong . pemerintahan untuk sementara dijalankan oleh jogugu. Jogugu yang memimpin upacara pemakaman raja dan minta supaya Bokidu bersidang, untuk memilih pengganti raja.
Bila sudah mufakat, maka sang calon raja diharuskan memasuki Masa Semedi yang bahasa Buol disebut Kuutono. Ini berlangsung selama empat puluh hari empat puluh mala, dan tidak boleh berhubungan dengan dunia luar , dalam sebuah kamar tersendiri.
Dia memusatkan perhatiannya pada tugas yang bakal dipikulnya dan senantiasa memohon kehadirat Tuhan Yang Maha Esa agar supaya diberikan kekuatan lahir maupun batin dan selalu diberinya petunjuk bimbinganya.
Selesai Melakukan semedi , lalu dimandikan secara adat (dengan ramuan-ramuan dan perlengkapan adat), dengan air yang diambil dari tujuh tempat yang berarti agar sang raja tetap dapat memperrsatukan seluruh wilayahnya dan dapat berbuat adil kepada semua orang yang berada dalam kekuasaanya.
100
Pada peresmiannya sebagai raja dihadapan majelis besar yang dihadiri para pejabat-pejabat tinggi sampai yang rendah, tokoh-tokoh agama dan pemuka masyarakat serta wakil-wakil daerah , maka dipakaikan kepada Samada sebagai topi kebesaran raja, kemudian diserahkan keris sebagai lambang kekuasaan., dan dilanjutkan dengan penyerahan Botangoraja (Tongkat Raja) sebagai lambang kepemimpinan.
Pada saat itu lah raja disumpah dengan unggkapan kata-kata:
- Nai Ko Poyi-Poyili
- Nai Ko Tigo-Tigogo
- Nai Monambango Ato Dolyano
Selesai upacar tersebut maka raja itu diarak keliling (ibu kota) tuju kali , untuk disaksikan oleh rakyatnya , lalu mereka mengadakan sembah sujud dengan menyusun sepuluh jari diantara keningnya , (Monubu) sambil membisikan kata-kata’’ Tubo Kalyangan’’.
Budaya-budaya dalam masyarakat sangat di jaga dan dijunjung tinggi, serta dipertahankan oleh seluruh masyarakat. Adat istiadat yang ada pada masyarakat selalu di taati dan dilaksanankan.
Kehidupan sosial masyarakat lebih bersifat gotong royong, mapalus (kerja sama) dan kekeluargaan. Masyarakat melakukan aktifitasnya sehari-hari selalu
101
berjalan kaki karena pada saat itu alat transportasi masih sangat terbatas seperti motor dan mobil.
Salah satu budaya atau tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Buol adalah “paki” (gasing) dan “marah” (layang-layang). Paki (gasing) dan marah ((layang-layang) adalah merupakan sebuah permainan masyarakat Buol yang menandakan musim panen padi.
Apabila masyarakat sudah mulai bermain gasing, berarti menandakan waktunya untuk menanam padi, dan apabila masyarakat sudah mulai bermain layang-layang berarti menandakan sebuah musim panen padi. Masyarakat yang sudah selesai memanen padi harus menumbuk padi agar terpisah dari kulitnya dan bisa dikonsumsi, karena belum ada mesin penggiling padi. Kendaraan yang digunakan masyarakat sebagai alat transportasi adalah perahu dan gerobak yang ditarik oleh sapi.
Selain itu, salah satu tradisi atau budaya yang dimiliki masyarakat dan selalu dilakukan adalah Tog ndeng-ndeng (alat musik yang mirip dengan kulintang), apabila sudah berbunyi Tog ndeng-ndeng tersebut berarti menandakan sebuah duka, hingga semua keluarga meneteskan air mata namun tidak di izinkan untuk menangis keras.
Tog ndeng-ndeng adalah sebuah alat musik tradisional masyarakat Buol yang mirip dengan kulintang, namun cara dan tekhnik memukul atau memainkannya sangat berbeda dengan cara bermain Kulintang dan biasanya di mainkan disaat terjadi sebuah duka pada masyarakat Buol.
102
Masyarakat Buol mempunyai alat musik tradisional Kurindang (Kulintang), rabana, gambos (gambus), palumba, mogunugon, gugobiyan (teka-teki), alat musik tradisional tersebut digunakan untuk mengisi acara hiburan pada sebuah lembaga adat.
Semangat gotong royong masyarakat masih sangat kental dan masyarakat menyebutnya mapalus (gotong royong/kerja sama). Salah satu contoh adalah apa bila ada seorang masyarakat yang sedang Mopayat Gua (memaras kebun), masyarakat yang melihatnya akan ikut membantu untuk memaras kebun tersebut.
Hubungan kekerabatan dalam keluarga masih sangat terjalin erat, saling menghargai, hormat menghormati, dan tidak boleh memanggil nama kepada orang yang lebih tua. Seluruh masyarakat melakukan Silaturahmi dengan pejabat di saat hari lebaran, yaitu diadakan kunjungan dari masing-masing distrik dengan menggunakan alat musik tradisional seperti rebana, menuju rumah kediaman Madika (Raja).
Masyarakat Buol mempunyai satu organisasi sosial yaitu organisasi arisan membangun rumah.. Pada kegiatan arisan membangun rumah tersebut yang dilakukan setiap bulan, masyarakat terlebih dahulu melakukan Bokidu (musyawarah) untuk memutuskan siapa yang menjadi Itoy Kalreja (orang yang dituakan) dalam pekerjaan untuk membangun rumah tersebut. Itoy Kalreja (orang yang dituakan) kemuudian akan memilih satu orang dari anggota-anggotanya kepada siapa yang
103
pertama dan berhak untuk dibangunkan rumah, dengan melihat kondisi dan kehidupannya sehari-hari.
Menurut Samsudin Lasau, kehidupan sosial budaya masyarakat Buol masih sangat sederhana. Masyarakat yang ingin pergi belanja di pasar Buol harus berjalan kaki karena pada saat itu masih sngat terbatas alat transportasi seperti motor atau mobil. Budaya-budaya yang ada pada masyarakata sangat di jaga dan selalu dipertahankan. Salah satu budaya masyarakat Buol adalah dengan bermain “paki” (gasing) dan “marah” (layang-layang), apabila masyarakat sudah mulai bermain gasing, berarti menandakan waktunya untuk menanam padi, dan apabila masyarakat sudah mulai bermain layang-layang berarti menandakan sebuah musim panen padi. Masyarakat yang sudah selesai memanen padi harus menumbuk padi agar terpisah dari kulitnya dan bisa dimakan, karena belum ada mesin penggiling padi. Kendaraan yang digunakan masyarakat sebagai alat transportasi adalah gerobak yang ditarik oleh sapi. (wawancara, tanggal 26 Maret 2013).
Menurut Maryam G. Mailili, Lembaga adat mempunyai anggota yang terdiri dari beberapa orang kepala kampung, salah satu anggota adat adalah Permaisyuri Raja. Di samping itu, Masyarakat Buol mempunyai alat musik tradisional Kurindang (Kulintang), rebana, gambus, palumba, mogunugon, gugobiyan (teka-teki), alat musik tradisional tersebut digunakan untuk mengisi acara hiburan pada sebuah lembaga adat. Salah satu budaya yang
104
dimiliki oleh masyarakat Buol yaitu Tog ndeng-ndeng (alat musik yang mirip dengan kulintang), apabila sudah berbunyi Tog deng-deng tersebut berarti menandakan sebuah duka, dan semua keluarga meneteskan air mata namun tidak di izinkan untuk menangis keras. Tog ndeng-ndeng adalah sebuah alat musik yang mirip dengan kulintang, namun cara dan tekhnik memukul atau memainkannya sangat berbeda dengan cara bermain Kulintang dan biasanya di mainkan disaat terjadi sebuah duka pada masyarakat Buol. Semangat gotong royong masyarakat Buol masih sangat kental dan masyarakat menyebutnya mapalus (gotong royong/kerja sama). Apa bila ada seorang masyarakat yang sedang Mopayat Gua (memaras kebun) masyarakat yang melihatnya akan ikut membantu untuk memaras kebun tersebut. Hubungan kekerabatan dalam keluarga masih sangat terjalin erat, saling menghargai, hormat menghormati, dan tidak boleh memanggil nama kepada orang yang lebih tua. Masyarakat melakukan Silaturahmi dengan pejabat di saat hari lebaran, yaitu diadakan kunjungan dari masing-masing distrik (kecamatan) dengan menggunakan rebana, kemudian diterima oleh Madika (Raja). (wawancara, tanggal 28 Maret 2013).
Menurut Nasarudin Mangge, kehidupan sosial masyarakat Buol sangat bersifat kekeluargaan dan selalu menghormati orang yang lebih tua. Masyarakat selalu mengutamakan sikap gotong royong, dan selalu sopan santun kepada orang lain. Dalam membangun sebuah rumah seperti rumah
105
patok (Rumah yang terbuat dari patok ) mereka selalu bersama-sama dan saling membantu, bahkan ada salah satu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu arisan membangung rumah yang dilakukan setiap bulan. Pada kegiatan arisan membangun rumah tersebut yang dilakukan setiap bulan, masyarakat terlebih dahulu melakukan Bokidu (musyawarah) untuk memutuskan siapa yang menjadi Itoy Kalreja (orang yang dituakan) dalam pekerjaan untuk membangun rumah tersebut. Itoy Kalreja (orang yang dituakan) akan memilih satu orang dari anggota-anggotanya kepada siapa yang pertama dibangun rumah, dengan melihat kondisi dan kehidupannya. (wawancara, tanggal 27 Maret 2013).
Menurut Aisyah Entu, “kehidupan sosial masyarakat pada saat itu sangat sederhana sekali, hubungan-hubungan dalam masyarakat terlajin dengan baik dan sifat motalyo (kerja sama) selalu dilakukan dalam kehidupan masyarakat, budaya-budaya sangat di pertahankan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat”. (wawancara, tanggal 05 April 2013).
Menurut Ibrahim Turungku, “hubungan dalam masyarakat sangat tejalin dengan baik dan bersifat kekeluargaan, budaya-budaya yang ada pada masyarakat dijunjung tinggi, selalu di jaga dan tetap dilaksanakan”. (wawancara, tanggal 07 April 2013).
4.3 Hubungan Sosial Kultur Kerajaan Buol Dengan Gorontalo
106
Istilah sosialisasi sudah familiar juga. Banyak orang menggunakannya untuk berbagai keperluan. Sampai saat ini masih saja banyak orang yang latah menggunakan kata yang satu ini, karena tidak pas penggunaannya. Sama saja halnya dengan orang memakai cincin Memang cincin di pasangkan pada jari tanggan. Akan tetapi ada saja orang memasangnya pada jari telunjuk atau ibu jari. Pada hal sebaiknya, agar indah dipandang tentunya dipasang pada jari manis.
pengertian dasar dari kata sosialisasi. Kata sosialisasi berasal dari kata sosial. Kata “sosial” digunakan untuk menunjukan sifat dari makhluq yang bernama manusia. Sehinga munculah ungkapan “manusia adalah makhluq sosial”.
Di dalam hubungan antara manusia dengan manusia lain yang paling penting proses terjadi adalah suatu reaksi yang menyebabkan munculnya berbagai tindakan. Reaksi itu disebut dengan proses sosial. Proses sosial itu terjadi disebabkan karena dalam tiap-tiap diri mausia Allah telah menanamkan mawaddah dan rahmah.
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara orang perorangan, antara orang dengan kelompok dan juga antara kelompok dengan kelompok manusia lainnya. Di dalam interaksi itu salah satu faktor yang sangat penting dalam kelancaran dan kesuksesannya adalah komunikasi. Dengan menggunakan bahasa yang sama maka proses komunikasi dalam berinteraksi akan terlaksana dengan mudah.
107
Interaksi sosial yang kedua ini yang mengantarkan seseorang kepada saling pengertian dan persaudaraan disebut sebagai sosialisasi. Proses sosialisasi adalah proses penyesuaian diri. Dengan kemampuan penyesuaian diri itulah orang dapat hidup dengan baik.
4.3.1 Budaya
Adapun istilah culture yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya kebudayaan berasal dari kata Latin colera. Artinya mengelolah atau mengerjakan, yaitu mengolah tanah atau bertani. Dari asal arti tersebut, yaitu colera kemudian culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia mengolah dan mengubah alam.
Budaya buol dan gorontalo saling pengaruh mempengaruhi. Karena perbauran budaya-budaya tersebut. maka banyak kemiripan-kemiripan antara adat istiadat atau pun tradisi antara suku Buol dan Gorontalo.
Menurut Maryam G. Mailili dari hubungan kekerabatan ini ada perbauran sosial kultur dari kerajaan ini terutama dari seni budaya di Buol memiliki rebana kecil- Gorontalo memiliki rebana besar disebut buruda banyak yang menggunakannya. (wawancara, tanggal 28 Maret 2013).
Nasrudin Mangga bahwa kebudayaan Buol dengan Gorontalo banyak memiliki kemiripan seperti dalam adat kematian, perinkahan.
(wawancara 27 – maret -2013).
108
4.3.2 Bahasa
Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang digunakan untuk menyatukan berbagai macam suku-suku bangsa di Indonesia. Tanpa bahasa manusia tidak akan bisa mengenal satu sama lain dan tidak bisa hidup dalam masyarakat.
Buol adalah salah satu daerah yang mempunyai adat istiadat dan bahasa sendiri sebagai salah satu alat untuk menyatukan masyarakat Buol dan sebagai sebuah ciri khas daerah tersebut.
Pungganaan bahasa buol di gunakan dalam kehidupan sehari- hari dan Bahasa juga adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain.
Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Sedangkan Gorontalo merupakan salah satu suku di Indonesia memang sejak dahulu telah memiliki satu bangsa bahasa pengantar dalam masyarakat dan kebudayaan yang disebut bahasa daerah Gorontalo. Dalam klasifikasi bahasa daearah Gorontalo termaksud bahasa daerah yang perlu dilestarikan oleh pemerintaha dan masyarakat agar bahasa ini senantiasa hidup dan dapat digunakan secara terus menerus.
109
Begitu juga Pungganaan dalam bahasa Gorontalo adalah sebagai alat komunikasi antar sesama, berlangsung dalam kehidupan sehari dan dalam upacara adat. Disamping itu bahasa Gorontalo juga menjadi alat penyampaian sastra, baik secara lisan maupun tulisan.
Menurut Maryam G. Mailili dari segi Bahasa buol dengan bahasa gorontalo memiliki kemiripan bahasa. Kadang-kadang, orang-orang Buol dianggap sebagai sub kelompok dari suku Gorontalo karena memiliki kemiripan-kemiripan budaya dan bahasa.(wawancara 28 – maret 2013).
Lebih lanjut menurut Samsudin Lasau dalam Bahsa buol dan gorontalo banyak memiliki kemeripan-kemiripan atau kesamaan karena buol dan gorontalo memiliki hubungan yang erat. (26 – maret 2013).
4.3.Latar Belakang keluarnya Buol dari federasi daerah sulawesi utara (DSU)
Gagasan Buol keluar dari Federasi sulawesi utara berasal dari partai politik islam masyumi yang tertuang dalam Program perjuangan tertanggal 13 maret 1954 yang ditanda tangani oleh T. Kawandaud , J.A Lamaka dan B. Hi. Rauf :
a. Alasan untuk keluar dari sulawesi utara
1. Undang- undang yang dipakai sulawesi utara tidak sama , sebab gorontalo memakai peraturan secara langsung dari pemerintahan belanda dahulu (aturan tanah Gubernem dahulu), sedang Buol (swapraja Buol) memakai peraturan tanah-tanah Landschap (ZBR) tahun 1938.
110
2. Gorontalo sudah lama dimodernisasikan, sedang wilayah Buol masih masih terikat dengan tradisi tanah Landschap (adat istiadat kerajaan) yang membawa peradaban secara moreel.
3. Mengenai kecerdasan masyarakat, Buol ditinggalkan beberap taraf kebawah oleh Gorontalo.
4. Buol (wilayah buol) terdapat disekitar laut sulawesi, Sedang Gorontalo terdapat teluk temini (teluk gorontalo) hal mana yang menyulitkankan perhubungan politik, ekonomi dan sosial.
Menurut Marya G. Mailili penyebab Buol dan Gorontalo berpisah karena ingin menghapuskan penjajahan dan ingin berdiri sendiri, berpemerintahan sendiri, berdasarkan UU Nor 44/1945 Dati II sulawesi utara ibu kota Gorontalo karena daerah swapraja Buol di hapuskan tinggal kenangan maka madika Aminullah Turungku sebagai panung praja, Buol memisahkan diri dari sulawesi utara (gorontalo) bergabung dengan toli-toli yang juga memisahkan diri daru Dunggala kemudian membentuk Kab. Dati II Buol toli-toli ibukotanya Toli-toli. (wawancara, tanggal 28 Maret 2013).
Menurut Nasrudin Mangge Sebelum abad ke-19 dan masuk abad ke 20 buol dan gorontalo yang pertama masih dalam afdeling manado yaitu Bolmong, Gorontalo dan Buol masih kesatuan pemerintahan. Sekitar Pada tahun 1925 Buol bergabung kembali dengan gorontalo daerah swapraja buol karean
111
kedekatan emosional, kemudian menarik diri untuk begabung dengan Buol Toli-toli pada tahun 1945.(wawancara 27 – maret- 2013).
Lebih lanjut menurut Supu Tahura bahwa Buol berpisah dengan Gorontalo bukan unsur politik. Setelah kemerdakaan Buol sudah bergabung denga toli-toli (wawancara 06 – april -2013 ).
4.4 Faktor-faktor Hubungan Buol dengan Gorontalo Menjadi Renggang
Faktor lain lain yang membut hubungan Buol dengan Limboto/ Gorontalo menjadi renggang ialah pelarian orang-orang bualemo ke Buol. Masaalah pelarian orang-orang boalemo ini sudah berlarut-larut . ada beberapa sebab orang-orang Buolemo menyingkir keBuol. Sebelumnya mereka disebut orang tembelo.
Dijelaskan pada waktu kerajaan tompotikat dikalahkan oleh pasukan gabungan banggai dengan Limboto/ Gorontalo , maka rakyat tompotikat jadi kocar kacir . sebagain lari kepegunungan bercampur dengan suku asli , sebagian ditawan dengan pasukan limboto dan ditempatkan ditilamuta dan diberi nama orang bualemo . sebagain lagi lolos kebuol
Mengenai pelarian orang-orang buolemo ini , lebih lanjut J.G.F.ridel jelaskan : “ Raja limboto berulang kali memanggil mereka untuk kembali , tetapi raja buol tidak menghiraukan panggilan tersebut dan tetap menjadikan orang-orang bualemo menjadi warganya . maka terjadilah ketegangan bahwa perang antara Buol dengan Limboto dst...
Sumber : http://eprints.ung.ac.id/2882/9/2013-1-87201-231409111-bab4-30072013035743.pdf
IDRIS, NOPIYA IDRIS (2014) Hubungan sosial kultur kerajaan Buol dengan Gorontalo awal abad XIX (Suatu penelitian dikabupaten Buol sulawesi tengah)
Monday, August 10, 2015
sejarah buol - bokat
sejarah kabupaten buol, sul-teng
Keadaan Umum Kabupaten Buol
Secara geografis Kabupaten Buol terletak diantara 0,35°-1,20° LU dan 120,12°- 122,09° Bujur Timur
Dengan luas wilayah: 4.043,57 Km2.
Wilayah buol berbatasan dengan : di wilayah timur dengan Kabupaten Gorontalo, Propinsi Gorontalo, di wilayah barat dengan Kabupaten Toli-toli, di sebelah utara berbatasan dengan Lautan Sulawesi dan Negara Philipina,
di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Toli-toli dan Kabupaten Parimo.
Wilayah Buol merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang beribukota di Kecamatan Biau.
Wilayah Boul terbagi atas 11 Kecamatan. 7 Kelurahan dan 101 Desa. (data 2009)
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 oleh BPS, jumlah penduduk Kabupaten Buol mencapai
132.381 jiwa yang terdiri dari laki-laki 67.892 jiwa dan perempuan 64.489 jiwa, dengan tingkat
kepadatan penduduk rata-rata 29 jiwa/Km2. Jumlah rumah tangga mencapai 26.929 KK dengan rata-rata
anggota rumah tangga 4-5 orang.Kabupaten Buol memiliki areal hutan seluas 258.228 Ha, yang terdiri dari:
Hutan lindung 63.602 ha
Hutan produksi biasa tetap 60.413 ha,
Hutan produksi terbatas 100.341 ha,
Hutan yang dapat dikonversi 24.070 ha
Hutan suaka alam dan hutan wisata 9.802 ha.
Kabupaten Buol memiliki wilayah perairan Seluas 40.320 Km2 disepanjang garis pantai dengan panjang
234.634 Km. Dalam perairan tersebut terkandung jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, karapu, napoleon serta berbagai jenis ikan lainnya.
II. Sejarah Masyarakat dan Hak Ulayat Ahli Waris Masyarakat Adat Buol
II. A. Sistim Pewarisan Masyarakat Adat Buol
Sumber berbagai publikasi yang dikompilasi dengan sumber Bapeda Sulteng
Sejarah Buol mulai dikenal sejak jaman pemerintahan NDUBU I dengan Permaisurinya bernama SAKILATO (sekitar 1380 M) dan selanjutnya digantikan oleh Anogu Rlipu sebagai Madika (Raja), kemudian memindahkan Pusat pemerintahan dari Guamonial ke Lamolan. Setelah Anogu Rlipu meninggal dunia ketika Dai Bole belum kembali dari moyausayya (perantauan), padahal dia yang harusnya menggantikan sebagai Madika,maka
Bokidumemutuskan BATARALANGIT menjadi Madikadengan gelar Madika Moputi atau Sultan Eato,dia merupakan Raja Buol yang pertama memeluk Agama Islam dengan nama Muhammad Tahir Wazairuladhim Abdurahman yang kemudian meninggal pada tahun 1003 H atau 1594 M.
Pengganti Madika Moputi adalah putra Dai Bole yaitu Pombang Rlipu yang diberi gelar Prins Yakut Kuntu Amas Raja Besar oleh Portugis.Setelah masa pemerintahan Pombang Rlipu yang terkenal. Kemudian Raja Pombang digantikan oleh Sultan Poondu.
Sultan Poondu banyak melakukan perlawanan terhadap Portugis pada akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1770. Sultan Poondu di gantikan oleh Dinasti Mokoapat, dengan silsilah sebagai berikut:
1.Sultan Undain
2.Datumimo (1804 – 1810)
3.Mokoapat (1810 – 1818)
4.Ndubu II
5.Takuloe
6.Datumula (1839 – 1843)
7.Elam Siradjudin (1843 – 1857)
8.Modeiyo (wakil 1857 – 1858)
9.Lahadung (1858 – 1864)
Dilanjutkan oleh Dinasti Turubu/Turungku yaitu:
1.Turubu/Turungku (1864–1890)
2.Haji Patra Turungku (1890 – 1899)
3.Datu Alam Turungku (1899 – 1914)
4.Haji Akhmad Turungku (1914 – 1947)
5.Mohammad Aminullah Turungku (1947 – 1997)
6.Mahmud Aminullah Turungku (1997–sekarang)
II. B. Suku Buol dan Wilayah Ulayat
Suku Buol berdiam di Propinsi Sulawesi Tengah bagian utara, berbatasan dengan Sulawesi Utara
(sekarang propinsi Gorontalo). Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan. Wilayah kediaman orang Buol meliputi lima di antara 11 kecamatan di Kabupaten Buol Tolitoli, yakni kecamatan Biau, Momunu, Bokat, Bunobugu, dan Paleleh. Dengan demikian lima wilayah kecamatan tersebut merupakan wilayah ulayat masyarakat suku Buol, yang merupakan satu-satunya suku yang ada di kabupaten Buol Sulawesi Tengah.
II. C. Struktur Kelembagaan Masyarakat Buol.
Struktur Lembaga tersebut adalah: Ta Bwulrigon, Ta Mogutu Bwu Bwulrigon, Ta
Momomayungo Bwu Bwulrigon, Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon .
Fungsi dari kelembagaan ini adalah:
1. Ta Bwulrigon artiya orang yang diusung, adalah sesorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat beserta pembantunya berfungsi untuk mengurus urusan-urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan.
2. Ta Mogutu Bwu Bwulrigon artinya pembuat usungan, adalah badan yang berfungsi untuk membuat peraturan atau pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan.
3. Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon artinya orang yang memayungi usungan, berfungsi untuk pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/pemangku adat yang menerapkan hukum Duiyano Butako.
4. Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon artinya pengusung usungan, adalah seseorang yang berfungsi untuk memastikan seluruh masyarakat adat agar taat dan patuh terhadap hukum adat.
Aturan/hukum adat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Selanjutnya dalam beberapa kebijakan yang akan diambil, dimusyawarah dalam setiap kelompok masyarakat. Bokidu merupakan lembaga untuk mengambil kebijakan dan memutuskan setiap persoalan yang dihadapi.
II. D. Sistim Penguasaan Lahan oleh Masyarakat.
Sistem penguasaan wilayah ulayat atas tanah, dimiliki dan dikelola secara kelompok berdasarkan garis keturunan/marga. Untuktetap menjaga kesuburan tanah, dan untuk mendapatkan hasil produksi pertanian yang baik, sistem ladang berpindah merupakan cara pertanian masyarakat, tetapi setiap lahan yang ditinggalkan akan digunakan kembali dan biasanya akan kembali dibuka untuk perkebunan setelah lahan sudah menjadi doumi/buni
(hutan muda). Untuk megetahui wilayahnya masing-masing biasanya kelompok masyarakat tersebut menandai dengan tanaman tahunan, seperti durian, nangka, rambutan, langsat, kelapa, mangga, kapas, kopi, dll.
Sistem penguasaan lahan dilakukan secara kelompok/komunal dengan kemampuan dan Distribusihasil pertaniannyadidasarkan atas kebutuhan setiap keluarga dalam kelompoknya masing-masing, sehingga untuk keluarga yang anggotanya lebih besar akan berbeda penerimaannya dengan anggota keluarga yang lebih sedikit jumlahnya. Dalam pembukaan hutan untukberladang terdapat juga larangan-larangan yang harus ditaati
oleh setiap kelompok yang membuka lahan untuk bertani, seperti pembukaan hutan tidak boleh dilakukan terlalu dekat dengan kuala, mereka meyakini jika pembukaan lahan terlalu dekat dengan kuala bisa menyebabkan longsor dan banjir.
Palrima adalah orang yang dituakan dalam menunjukkan hutan yang boleh dibuka dan menetapkan larangan-larangan dalam membuka hutan untuk perladangan. Palrima juga bertugas untuk mengusir roh jahat dan semua jenis binatang yang berbisa.
Dalamberladang masarakat sudah memiliki kemampuan untuk memprediksi kapanmenetapkan waktu untuk menanam, seperti menunggu datangnya yayukan (bintang woluku), masyarakat meyakini bahwa ketika ada yayukan, maka curah hujan akan datang dan hama tanaman tidak ada. Budaya ini ditetapkan oleh orang yang dituakan dan menjadi panutan masyarakat dengan sebutan Panggoba. Panggoba juga diyakini memiliki kemapuan untuk mengobati dan mengusir hama tanaman. dalam mengusir hama dan mengobati tanaman biasanya Panggoba melakukan ritual, membakar kanaman (kemenyan), lalu menancapkan Uvbut tumbang (kuncup daun sagu) dan Uvbut pawyuan (pucuk batang bambu kecil) di setiap sudut lahan yang terkena hama. selama 3 hari ladang tidak boleh di didatangi oleh siapapun termasuk oleh pemiliknya sekalipun.
Masyarakat suku Buol mengenal berbagai kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, maupun hutan. Mayarakat adat juga percaya bahwa alam gaib/religi berperan dalam memberikan kesuburan tanah dan kesejateraan bagi masyarakat sehingga mereka terbiasa melindunginya dengan melakukan upacara persembahan dan sajian kepada leluhur mereka.
III. Sejarah Tanah Ulayat Di Hulu Unone Hulu Umbadudu dan Hulu Biau
Tanah ulayat yang berada di wilayah Hulu Unone, Hulu Biau, dan wilayah Hulu Umbadudu,
memiliki Sejarah penguasaan yang berbeda-beda.
A. Sejarah Penguasaan Tanah di Wilayah Hulu Unone
Pada zaman penjajahan belanda sekitar tahun 1900 Moyanggato orang pertama yang memimpin kelompok membuka lahan di kogongoan (hutan) di sekitar daratan kuala lantikadigo. Kemudiandiikuti oleh kelompok-kelompok/komunal yang dipimpin oleh Marjun Kuntuamas, Daeboleh Husain, Dosu Manggula, Hadari Mandula, Panggig/Kakai Ako, Talude aezia, Pana’a, Pabunggara, Kulor Kanoli, Daura, Banji/Kakai Dumo, Giteng, Ram Kanoli, Day Mataso Iman, Bombo Salakea, Rutaban.
Pembukaan lahan tersebut dilatar belakangi oleh potensi kesuburan tanah,pada setiap wilayah penguasaan oleh kelompok diberi nama seperti Tonona, Bulili, Buyanon Tumbang,Tinomuyang, bokat, Tuliabu, Malrebung, Giteng, Buyano panggig/Kakai Ako, Pinit, Bukilata, Polapi dan Unggag Meelam, Tabone, Dugian, Popaya, Lombituk.
Seiring dengan bertambahnya jumlah komunal yang bermukim, maka pada tahun 1911 terbentuk sebuah perkampungan dan pemerintahan dengan nama kampung Kedudugon, yang menjadi kepala kampung pada saat itu adalah menantu dari Moyanggato yakni Dauwara Balaban alias Tiam Dondi.
Pada tahun 1916 perkampungan bergeser sedikit kearah Utara,dan nama kampung berubah menjadi Bokat Kupo dengan kepala kampung waktu itu adalah Ram Kanoli. Selanjutnya Pada tahun 1930an perkampungan kembali berpindah kearah utara lagi dengan nama kampung berubah menjadi Kantanan 2 , yang menjadi kepala kampung masih Ramkanoli. Kemudian pada tahun 1941 nama kantanan 2 diganti menjadi Desa Unone dengan kepala
desa pertama pada waktu itu Tango Kanoli. Bekas kampung Kodudugon dan Bokat Kupo tetap dijadikan lahanberladangdan lahan sawah kering (padi ladang) tetapi mayoritas menjadi kebun rumpun sagu sebagai makanan pokok masyarakat ketika itu, dan wilayah tersebut diberi nama Hulu Unone .
Didokumentasikan dari wawancara dan FGD Masyarakat Buol
B. Sejarah Tanah Di Wilayah Hulu Umbadudu
Hulu Umbadudu awalnya lokasi tempat masyarakat Boul membuat perahu dan mengambil Rotan.
Pada tahun 1930, Hulu Umbadudu di kelola menjadi lahan pertanian secara berkelompok berdasarkan garis keturunan yang dipimpin oleh Lasuma alias Kai Gili , Salim alias Kai Hau , Mahadali alias Buya , Lasiripi alias Tiambaci , Dai Pumbung alias Pedu, Panjara Todael alias Tiam Siaman dan To’u alias Ti Boydai . Kelompok-kelompok masyarakat tarsebut berasal darikampung Taluan, Lamadong, Tongon, Potugu dan Puji Mulyo.
Setiap wilayah yang dikuasai diberi nama serta memiliki arti sendiri-sendiri seperti wilayah Maniala didi yang artinya (kuala kecil) , Bundoyogit yang artinya Kuala atau sungai nyamuk, sebab lahan yang dibuka dekat dengan sungai yang banyak terdapat nyamuk hutan, ada juga lahan yang diberi nama Bokat Botu yang memiliki arti batu besar di tengah kuala (sungai), sebab lahan tersebut dekat dengan sungai yang terdapat batu besar ditengahnya. Lahan dengan nama Kamayangan yang artinya hamparan luas, ada juga lahan yang diberi nama Potanga yang artinya kuala (sungai) kecil bercabang, sebab lahan tersebut dekat dengan kuala bercabang, lahan dengan nama Doyangon yang artinya banyak sarang kelelawar, karena arealnya banyak sarang kelelawar, nama wilayah tambe diberikan karena wilayah tersebut ditemukan banyak terdapat kayu yang bernama tembe , ada areal yang diberi nama Butak Popaya yang artinya kuala (sungai) pepaya, areal dengan nama Butak Kuehasan diberikan karena nama orang tersebut diyakini sebagai orang pertama kali yang mandi disuangai dekat wilayah yang dibuka, nama Dopiyan diberikan untuk areal wilayah dekat dengan kuala yang terdapat banyak buaya berkembang biayak,Nama Angob diberikan terhadap wilayah yang dibuka dekat dengan goa dalam sungai untuk sembunnyi buaya, Bonduyobuta artinya air terjun tidak berbatu.Setelah menguasai lahan kelompok-kelompok tersebut, memutuskan untuk bermukim di wilayah Hulu Umbadudu untuk mengelolah lahan karena memberikan penghidupan yang lebih baik. Maka semakin banyakkelompok masyrakat yang mengikutinya.Pada tahun 1971, terdapat kebijakan pemerintah yang melakukan penataanperkampungan.
Masyarakat yang bermukim di Hulu Umbadudu diminta untuk kembali ketempat desa asalnya, tetapi masyarakatmenolak untuk pindah. Pada tahun 1973 masyarakat di paksa meninggalkan pemukimannya dengan cara membakar rumah oleh aparat pemerintahyang kemudian berhasil mengembalikan masyarakat ketempat desa asalnya. Kemudian mereka menempati desa sebelumnya di Desa Momunu, Desa Taluan,
Desa Pinamula, Desa Pujimulio, Desa Potugu, Desa Tongon, Desa Lamadong I dan Desa Lamadong II. Tetapi masyarakat tetap berladang di wilayah Hulu Umbadudu walaupun harus setiap hari pulang pergi dari Desake Hulu Umbadudu untuk berladang.
Pada tahun 1982, masyarakat kembali membangun pondok-pondok di wilayah hulu umbadudu dan bermukim, yang dipimpin langsung oleh Bpk. Aminullah A. Taumbung (Kades Lamadong II), dan Bpk. Kamarudin Umar ( Kades Taluan ) dan menetap dan berkebun sampai tahun 1993.
C. Sejarah Tanah di Wilayah Hulu Biau
Sejarah tanah wilayah Hulu Biau merupakan lahan perkebunan masarakat didesa biau pemayagon, bengkudu, kodolagon, guamonial, wakat, diat dan buol. pada tahun 1943 jepang masuk diwilayah gorontalo, saat itu buol termasuk salah satu wilayah administrasinya. Politik kolinial jepang mempengaruhi sistem pertanian di wilayah Hulu biau, sebab jepang memaksa hasil pertanian diserahkan ke kolonial. Sehingga untuk tetap mempertahankan kehidupanya masarakat tersebut lebih intesif mengelola tannha pertanian diwilayah hulu biau.
Pada masa penjajahan jepang Intensitas pertanian di lokasi tersebut ditunjukan dengan menanam tanaman padi, jagung, kapas, dsb. Sebagai bentuk perlawanan gterhadap penjajah Hasil dari pertanian diwilayah tersebut tidak diserahakan ke penjajah.Selain itu, masarakat adat diwilayah tersebut menyusun strategi melawan penjajahan Jepang.
Sehingga untuk menunjukan bahwa lokasi tersebut telah di kuasai oleh masyarakat adat maka di buatlah nama – nama, seperti Tonona yang berarti kayu linggua, Tiampariu, Timo Muyang yang berarti bambu, Mbutong suangai yang airnya bau, Kuala Binde , Marisa, Tombidi, Durin. Sedangkan kelompok-kelompok yang menguasi dan mengolah lahan di Hulu Biau ketika itu adalah, Mukoapat, Mo’u Tahuni, Hamit, Kuliling Mukoopat, Sulaeman To’uruju, Timumun, Lijana Ontoh, Kai Husa ,Halid alias Tikai If, Dotu Tinggi alias kai dotu, Ibrahim alias Kai Puo, Yusup alias Boonda Mou, Mentemas alias Kai Lau, Toumili alias Boyuleu Yang pada gilirannya kemudian kelompok-kelompok masyarakat tersebut semakin bertambah seiring perkemba
ngan populasi anggota keluarga dalam kelompok masyarakat.
IV. Skema Penghancuran Hak Ulayat Masyarakat Buol
Pada perkembangannya, masyarakat adat di berbagai tempat termasuk masyarakat suku bangsa Buol mengalami kondisi yang tersisikan dalam pembangunan, sering kali dengan alasan “demi kepentingan umum” hak-hak mereka dikorbankan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Sejak pemerintahan orde Baru berbagai undang-undang dan peraturan di buat sebagai upaya membatasi keberadaan masyarakat adat terhadap wilayahnya. Setidaknya dilahirkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, secara khusus di propinsi Sulawesi Tengah terdapat Surat Edaran Gubernur pada tahun 1992 yang menyatakan Pencabutan Status Tanah Kepemilikan Komunal.
Hal ini kemudian menghancurkan pengakuan dan hak atas wilayah terhadap masyarakat Buol yang pada perkembangan saat ini melahirkan konflik antara perusahaan PT. Hardaya Inti Plantations dengan Masyarakat Buol, karena terampas tanahnya untuk lahan pekebunan kelapa sawit.
Keadaan Umum Kabupaten Buol
Secara geografis Kabupaten Buol terletak diantara 0,35°-1,20° LU dan 120,12°- 122,09° Bujur Timur
Dengan luas wilayah: 4.043,57 Km2.
Wilayah buol berbatasan dengan : di wilayah timur dengan Kabupaten Gorontalo, Propinsi Gorontalo, di wilayah barat dengan Kabupaten Toli-toli, di sebelah utara berbatasan dengan Lautan Sulawesi dan Negara Philipina,
di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Toli-toli dan Kabupaten Parimo.
Wilayah Buol merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang beribukota di Kecamatan Biau.
Wilayah Boul terbagi atas 11 Kecamatan. 7 Kelurahan dan 101 Desa. (data 2009)
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 oleh BPS, jumlah penduduk Kabupaten Buol mencapai
132.381 jiwa yang terdiri dari laki-laki 67.892 jiwa dan perempuan 64.489 jiwa, dengan tingkat
kepadatan penduduk rata-rata 29 jiwa/Km2. Jumlah rumah tangga mencapai 26.929 KK dengan rata-rata
anggota rumah tangga 4-5 orang.Kabupaten Buol memiliki areal hutan seluas 258.228 Ha, yang terdiri dari:
Hutan lindung 63.602 ha
Hutan produksi biasa tetap 60.413 ha,
Hutan produksi terbatas 100.341 ha,
Hutan yang dapat dikonversi 24.070 ha
Hutan suaka alam dan hutan wisata 9.802 ha.
Kabupaten Buol memiliki wilayah perairan Seluas 40.320 Km2 disepanjang garis pantai dengan panjang
234.634 Km. Dalam perairan tersebut terkandung jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, karapu, napoleon serta berbagai jenis ikan lainnya.
II. Sejarah Masyarakat dan Hak Ulayat Ahli Waris Masyarakat Adat Buol
II. A. Sistim Pewarisan Masyarakat Adat Buol
Sumber berbagai publikasi yang dikompilasi dengan sumber Bapeda Sulteng
Sejarah Buol mulai dikenal sejak jaman pemerintahan NDUBU I dengan Permaisurinya bernama SAKILATO (sekitar 1380 M) dan selanjutnya digantikan oleh Anogu Rlipu sebagai Madika (Raja), kemudian memindahkan Pusat pemerintahan dari Guamonial ke Lamolan. Setelah Anogu Rlipu meninggal dunia ketika Dai Bole belum kembali dari moyausayya (perantauan), padahal dia yang harusnya menggantikan sebagai Madika,maka
Bokidumemutuskan BATARALANGIT menjadi Madikadengan gelar Madika Moputi atau Sultan Eato,dia merupakan Raja Buol yang pertama memeluk Agama Islam dengan nama Muhammad Tahir Wazairuladhim Abdurahman yang kemudian meninggal pada tahun 1003 H atau 1594 M.
Pengganti Madika Moputi adalah putra Dai Bole yaitu Pombang Rlipu yang diberi gelar Prins Yakut Kuntu Amas Raja Besar oleh Portugis.Setelah masa pemerintahan Pombang Rlipu yang terkenal. Kemudian Raja Pombang digantikan oleh Sultan Poondu.
Sultan Poondu banyak melakukan perlawanan terhadap Portugis pada akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada tahun 1770. Sultan Poondu di gantikan oleh Dinasti Mokoapat, dengan silsilah sebagai berikut:
1.Sultan Undain
2.Datumimo (1804 – 1810)
3.Mokoapat (1810 – 1818)
4.Ndubu II
5.Takuloe
6.Datumula (1839 – 1843)
7.Elam Siradjudin (1843 – 1857)
8.Modeiyo (wakil 1857 – 1858)
9.Lahadung (1858 – 1864)
Dilanjutkan oleh Dinasti Turubu/Turungku yaitu:
1.Turubu/Turungku (1864–1890)
2.Haji Patra Turungku (1890 – 1899)
3.Datu Alam Turungku (1899 – 1914)
4.Haji Akhmad Turungku (1914 – 1947)
5.Mohammad Aminullah Turungku (1947 – 1997)
6.Mahmud Aminullah Turungku (1997–sekarang)
II. B. Suku Buol dan Wilayah Ulayat
Suku Buol berdiam di Propinsi Sulawesi Tengah bagian utara, berbatasan dengan Sulawesi Utara
(sekarang propinsi Gorontalo). Daerah ini dikelilingi oleh pegunungan. Wilayah kediaman orang Buol meliputi lima di antara 11 kecamatan di Kabupaten Buol Tolitoli, yakni kecamatan Biau, Momunu, Bokat, Bunobugu, dan Paleleh. Dengan demikian lima wilayah kecamatan tersebut merupakan wilayah ulayat masyarakat suku Buol, yang merupakan satu-satunya suku yang ada di kabupaten Buol Sulawesi Tengah.
II. C. Struktur Kelembagaan Masyarakat Buol.
Struktur Lembaga tersebut adalah: Ta Bwulrigon, Ta Mogutu Bwu Bwulrigon, Ta
Momomayungo Bwu Bwulrigon, Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon .
Fungsi dari kelembagaan ini adalah:
1. Ta Bwulrigon artiya orang yang diusung, adalah sesorang yang diangkat menjadi kepala pemerintahan adat beserta pembantunya berfungsi untuk mengurus urusan-urusan
pemerintahan dan kemasyarakatan.
2. Ta Mogutu Bwu Bwulrigon artinya pembuat usungan, adalah badan yang berfungsi untuk membuat peraturan atau pengambil keputusan sekaligus memilih kepala pemerintahan.
3. Ta Momomayungo Bwu Bwulrigon artinya orang yang memayungi usungan, berfungsi untuk pengayom masyarakat dan penegak hukum adat/pemangku adat yang menerapkan hukum Duiyano Butako.
4. Ta Momulrigo Bwu Bwulrigon artinya pengusung usungan, adalah seseorang yang berfungsi untuk memastikan seluruh masyarakat adat agar taat dan patuh terhadap hukum adat.
Aturan/hukum adat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Selanjutnya dalam beberapa kebijakan yang akan diambil, dimusyawarah dalam setiap kelompok masyarakat. Bokidu merupakan lembaga untuk mengambil kebijakan dan memutuskan setiap persoalan yang dihadapi.
II. D. Sistim Penguasaan Lahan oleh Masyarakat.
Sistem penguasaan wilayah ulayat atas tanah, dimiliki dan dikelola secara kelompok berdasarkan garis keturunan/marga. Untuktetap menjaga kesuburan tanah, dan untuk mendapatkan hasil produksi pertanian yang baik, sistem ladang berpindah merupakan cara pertanian masyarakat, tetapi setiap lahan yang ditinggalkan akan digunakan kembali dan biasanya akan kembali dibuka untuk perkebunan setelah lahan sudah menjadi doumi/buni
(hutan muda). Untuk megetahui wilayahnya masing-masing biasanya kelompok masyarakat tersebut menandai dengan tanaman tahunan, seperti durian, nangka, rambutan, langsat, kelapa, mangga, kapas, kopi, dll.
Sistem penguasaan lahan dilakukan secara kelompok/komunal dengan kemampuan dan Distribusihasil pertaniannyadidasarkan atas kebutuhan setiap keluarga dalam kelompoknya masing-masing, sehingga untuk keluarga yang anggotanya lebih besar akan berbeda penerimaannya dengan anggota keluarga yang lebih sedikit jumlahnya. Dalam pembukaan hutan untukberladang terdapat juga larangan-larangan yang harus ditaati
oleh setiap kelompok yang membuka lahan untuk bertani, seperti pembukaan hutan tidak boleh dilakukan terlalu dekat dengan kuala, mereka meyakini jika pembukaan lahan terlalu dekat dengan kuala bisa menyebabkan longsor dan banjir.
Palrima adalah orang yang dituakan dalam menunjukkan hutan yang boleh dibuka dan menetapkan larangan-larangan dalam membuka hutan untuk perladangan. Palrima juga bertugas untuk mengusir roh jahat dan semua jenis binatang yang berbisa.
Dalamberladang masarakat sudah memiliki kemampuan untuk memprediksi kapanmenetapkan waktu untuk menanam, seperti menunggu datangnya yayukan (bintang woluku), masyarakat meyakini bahwa ketika ada yayukan, maka curah hujan akan datang dan hama tanaman tidak ada. Budaya ini ditetapkan oleh orang yang dituakan dan menjadi panutan masyarakat dengan sebutan Panggoba. Panggoba juga diyakini memiliki kemapuan untuk mengobati dan mengusir hama tanaman. dalam mengusir hama dan mengobati tanaman biasanya Panggoba melakukan ritual, membakar kanaman (kemenyan), lalu menancapkan Uvbut tumbang (kuncup daun sagu) dan Uvbut pawyuan (pucuk batang bambu kecil) di setiap sudut lahan yang terkena hama. selama 3 hari ladang tidak boleh di didatangi oleh siapapun termasuk oleh pemiliknya sekalipun.
Masyarakat suku Buol mengenal berbagai kearifan adat yang merupakan kebiasaan dan berhubungan dengan perlindungan sumber daya alam, baik berupa tanah, air, maupun hutan. Mayarakat adat juga percaya bahwa alam gaib/religi berperan dalam memberikan kesuburan tanah dan kesejateraan bagi masyarakat sehingga mereka terbiasa melindunginya dengan melakukan upacara persembahan dan sajian kepada leluhur mereka.
III. Sejarah Tanah Ulayat Di Hulu Unone Hulu Umbadudu dan Hulu Biau
Tanah ulayat yang berada di wilayah Hulu Unone, Hulu Biau, dan wilayah Hulu Umbadudu,
memiliki Sejarah penguasaan yang berbeda-beda.
A. Sejarah Penguasaan Tanah di Wilayah Hulu Unone
Pada zaman penjajahan belanda sekitar tahun 1900 Moyanggato orang pertama yang memimpin kelompok membuka lahan di kogongoan (hutan) di sekitar daratan kuala lantikadigo. Kemudiandiikuti oleh kelompok-kelompok/komunal yang dipimpin oleh Marjun Kuntuamas, Daeboleh Husain, Dosu Manggula, Hadari Mandula, Panggig/Kakai Ako, Talude aezia, Pana’a, Pabunggara, Kulor Kanoli, Daura, Banji/Kakai Dumo, Giteng, Ram Kanoli, Day Mataso Iman, Bombo Salakea, Rutaban.
Pembukaan lahan tersebut dilatar belakangi oleh potensi kesuburan tanah,pada setiap wilayah penguasaan oleh kelompok diberi nama seperti Tonona, Bulili, Buyanon Tumbang,Tinomuyang, bokat, Tuliabu, Malrebung, Giteng, Buyano panggig/Kakai Ako, Pinit, Bukilata, Polapi dan Unggag Meelam, Tabone, Dugian, Popaya, Lombituk.
Seiring dengan bertambahnya jumlah komunal yang bermukim, maka pada tahun 1911 terbentuk sebuah perkampungan dan pemerintahan dengan nama kampung Kedudugon, yang menjadi kepala kampung pada saat itu adalah menantu dari Moyanggato yakni Dauwara Balaban alias Tiam Dondi.
Pada tahun 1916 perkampungan bergeser sedikit kearah Utara,dan nama kampung berubah menjadi Bokat Kupo dengan kepala kampung waktu itu adalah Ram Kanoli. Selanjutnya Pada tahun 1930an perkampungan kembali berpindah kearah utara lagi dengan nama kampung berubah menjadi Kantanan 2 , yang menjadi kepala kampung masih Ramkanoli. Kemudian pada tahun 1941 nama kantanan 2 diganti menjadi Desa Unone dengan kepala
desa pertama pada waktu itu Tango Kanoli. Bekas kampung Kodudugon dan Bokat Kupo tetap dijadikan lahanberladangdan lahan sawah kering (padi ladang) tetapi mayoritas menjadi kebun rumpun sagu sebagai makanan pokok masyarakat ketika itu, dan wilayah tersebut diberi nama Hulu Unone .
Didokumentasikan dari wawancara dan FGD Masyarakat Buol
B. Sejarah Tanah Di Wilayah Hulu Umbadudu
Hulu Umbadudu awalnya lokasi tempat masyarakat Boul membuat perahu dan mengambil Rotan.
Pada tahun 1930, Hulu Umbadudu di kelola menjadi lahan pertanian secara berkelompok berdasarkan garis keturunan yang dipimpin oleh Lasuma alias Kai Gili , Salim alias Kai Hau , Mahadali alias Buya , Lasiripi alias Tiambaci , Dai Pumbung alias Pedu, Panjara Todael alias Tiam Siaman dan To’u alias Ti Boydai . Kelompok-kelompok masyarakat tarsebut berasal darikampung Taluan, Lamadong, Tongon, Potugu dan Puji Mulyo.
Setiap wilayah yang dikuasai diberi nama serta memiliki arti sendiri-sendiri seperti wilayah Maniala didi yang artinya (kuala kecil) , Bundoyogit yang artinya Kuala atau sungai nyamuk, sebab lahan yang dibuka dekat dengan sungai yang banyak terdapat nyamuk hutan, ada juga lahan yang diberi nama Bokat Botu yang memiliki arti batu besar di tengah kuala (sungai), sebab lahan tersebut dekat dengan sungai yang terdapat batu besar ditengahnya. Lahan dengan nama Kamayangan yang artinya hamparan luas, ada juga lahan yang diberi nama Potanga yang artinya kuala (sungai) kecil bercabang, sebab lahan tersebut dekat dengan kuala bercabang, lahan dengan nama Doyangon yang artinya banyak sarang kelelawar, karena arealnya banyak sarang kelelawar, nama wilayah tambe diberikan karena wilayah tersebut ditemukan banyak terdapat kayu yang bernama tembe , ada areal yang diberi nama Butak Popaya yang artinya kuala (sungai) pepaya, areal dengan nama Butak Kuehasan diberikan karena nama orang tersebut diyakini sebagai orang pertama kali yang mandi disuangai dekat wilayah yang dibuka, nama Dopiyan diberikan untuk areal wilayah dekat dengan kuala yang terdapat banyak buaya berkembang biayak,Nama Angob diberikan terhadap wilayah yang dibuka dekat dengan goa dalam sungai untuk sembunnyi buaya, Bonduyobuta artinya air terjun tidak berbatu.Setelah menguasai lahan kelompok-kelompok tersebut, memutuskan untuk bermukim di wilayah Hulu Umbadudu untuk mengelolah lahan karena memberikan penghidupan yang lebih baik. Maka semakin banyakkelompok masyrakat yang mengikutinya.Pada tahun 1971, terdapat kebijakan pemerintah yang melakukan penataanperkampungan.
Masyarakat yang bermukim di Hulu Umbadudu diminta untuk kembali ketempat desa asalnya, tetapi masyarakatmenolak untuk pindah. Pada tahun 1973 masyarakat di paksa meninggalkan pemukimannya dengan cara membakar rumah oleh aparat pemerintahyang kemudian berhasil mengembalikan masyarakat ketempat desa asalnya. Kemudian mereka menempati desa sebelumnya di Desa Momunu, Desa Taluan,
Desa Pinamula, Desa Pujimulio, Desa Potugu, Desa Tongon, Desa Lamadong I dan Desa Lamadong II. Tetapi masyarakat tetap berladang di wilayah Hulu Umbadudu walaupun harus setiap hari pulang pergi dari Desake Hulu Umbadudu untuk berladang.
Pada tahun 1982, masyarakat kembali membangun pondok-pondok di wilayah hulu umbadudu dan bermukim, yang dipimpin langsung oleh Bpk. Aminullah A. Taumbung (Kades Lamadong II), dan Bpk. Kamarudin Umar ( Kades Taluan ) dan menetap dan berkebun sampai tahun 1993.
C. Sejarah Tanah di Wilayah Hulu Biau
Sejarah tanah wilayah Hulu Biau merupakan lahan perkebunan masarakat didesa biau pemayagon, bengkudu, kodolagon, guamonial, wakat, diat dan buol. pada tahun 1943 jepang masuk diwilayah gorontalo, saat itu buol termasuk salah satu wilayah administrasinya. Politik kolinial jepang mempengaruhi sistem pertanian di wilayah Hulu biau, sebab jepang memaksa hasil pertanian diserahkan ke kolonial. Sehingga untuk tetap mempertahankan kehidupanya masarakat tersebut lebih intesif mengelola tannha pertanian diwilayah hulu biau.
Pada masa penjajahan jepang Intensitas pertanian di lokasi tersebut ditunjukan dengan menanam tanaman padi, jagung, kapas, dsb. Sebagai bentuk perlawanan gterhadap penjajah Hasil dari pertanian diwilayah tersebut tidak diserahakan ke penjajah.Selain itu, masarakat adat diwilayah tersebut menyusun strategi melawan penjajahan Jepang.
Sehingga untuk menunjukan bahwa lokasi tersebut telah di kuasai oleh masyarakat adat maka di buatlah nama – nama, seperti Tonona yang berarti kayu linggua, Tiampariu, Timo Muyang yang berarti bambu, Mbutong suangai yang airnya bau, Kuala Binde , Marisa, Tombidi, Durin. Sedangkan kelompok-kelompok yang menguasi dan mengolah lahan di Hulu Biau ketika itu adalah, Mukoapat, Mo’u Tahuni, Hamit, Kuliling Mukoopat, Sulaeman To’uruju, Timumun, Lijana Ontoh, Kai Husa ,Halid alias Tikai If, Dotu Tinggi alias kai dotu, Ibrahim alias Kai Puo, Yusup alias Boonda Mou, Mentemas alias Kai Lau, Toumili alias Boyuleu Yang pada gilirannya kemudian kelompok-kelompok masyarakat tersebut semakin bertambah seiring perkemba
ngan populasi anggota keluarga dalam kelompok masyarakat.
IV. Skema Penghancuran Hak Ulayat Masyarakat Buol
Pada perkembangannya, masyarakat adat di berbagai tempat termasuk masyarakat suku bangsa Buol mengalami kondisi yang tersisikan dalam pembangunan, sering kali dengan alasan “demi kepentingan umum” hak-hak mereka dikorbankan untuk mencapai tujuan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah. Sejak pemerintahan orde Baru berbagai undang-undang dan peraturan di buat sebagai upaya membatasi keberadaan masyarakat adat terhadap wilayahnya. Setidaknya dilahirkannya UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, secara khusus di propinsi Sulawesi Tengah terdapat Surat Edaran Gubernur pada tahun 1992 yang menyatakan Pencabutan Status Tanah Kepemilikan Komunal.
Hal ini kemudian menghancurkan pengakuan dan hak atas wilayah terhadap masyarakat Buol yang pada perkembangan saat ini melahirkan konflik antara perusahaan PT. Hardaya Inti Plantations dengan Masyarakat Buol, karena terampas tanahnya untuk lahan pekebunan kelapa sawit.
Subscribe to:
Posts (Atom)